Laman

Selasa, 24 Januari 2012

MENGUNJUNGI GUNUNG BROMO



    Waktu sudah menunjukkan jam 20.15 WITA tanggal 11 November 2011 ketika saya berangkat dari terminal Imogiri, Yogjakarta menuju Kabupaten Nganjuk. Keberangkatan ini termasuk terlambat, sudah malam, tapi begitulah kebiasaan yang susah untuk saya hilangkan, selalu bergerak ketika keinginan untuk bergerak itu sudah ada, sangat kondisional. Walaupun keberangkatan kali ini sangat mendadak sekali, tapi saya sudah berencana dari beberapa hari yang lalu akan mengunjungi beberapa kawan-kawan di Nganjuk dan Surabaya dan selanjutnya ke Probolinggo dan ke Gunung Bromo, sebagai ujung perjalanan saya kali ini, dan beberapa persiapan keberangkatan sudah saya siapkan, tinggal menunggu waktu yang sesuai keinginan untuk bergerak, dan akhirnya keinginan bergerak itu datang juga sesudah salah seorang sahabat dan saudara di Kabupaten Nganjuk menyemangati saya.
    Bus patas ac Sumber Slamet yang saya tumpangi menuju Kabupaten Nganjuk melaju santai dan dinginnya ac membuatku merasa mengantuk, tapi jujur saja aku takut ketiduran, takut kelewatan Nganjuk langsung menuju Surabaya, aku belum pernah ke Nganjuk. Untuk mengantisipasi ketiduran di jalan, aku minta tolong kondektur bus agar membangunkan saya kalau sudah sampai di Kabupaten Nganjuk. Jadi dengan setengah menahan kantuk aku nikmati perjalanan ini. Dari Kota Yogjakarta menuju Kabupaten Nganjuk ditempuh dalam waktu kurang lebih 4-5 jam dengan ongkos bus yang menurut saya sangat murah, 14.000 ribu rupiah. 
Setiap perjalanan yang saya lakukan, saya yakini sebagai proses pendewasaan jiwa, melihat realitas sosial bangsaku, menumbuhkan rasa kepekaan sosial dalam diriku, dan sebagai anak muda bangsa, saya harus terus memastikan rasa itu selalu ada dan berkembang dalam diriku. Itu modal terbesar saya untuk menjalani masa depan, tumbuh dan berkarya di bangsa ini dengan rasa sensitifitas sosial yang tinggi.
    Saya beberapa kali tertidur dan kembali terjaga, hawa ac bus ini terasa menggigit kulit. Tak terasa bus Sumber Slamet yang saya tumpangi sudah memasuki Kota Solo dan terus melaju membelah kegelapan malam. Pada pukul 01. 18 WIT dini hari saya sampai di Nganjuk dan turun didepan kantor polsek, sesuai arahan sahabatku untuk turun disini dan dia akan menjemputku. Tak lama menunggu, sahabatku datang, ada rasa rindu yang seolah menguap saat pertemuan ini, sudah lebih dari 6 tahun kami tak pernah bertemu, saat ini menjadi saat-saat yang menyenangkan. Malam ini saya menginap dirumah sahabat dan saudara saya ini. Pagi harinya saya diperkenalkan dengan keluarganya, keluarga yang menyenangkan.
    Pagi hari di Nganjuk ini tak saya sia-siakan, dengan meminjam sepeda sahabat saya, saya jalan-jalan keliling kampung. Daerah yang menarik, penduduknya ramah-ramah. Mata pencaharian penduduk mayoritas disini adalah petani, terutama petani bawang merah. Di banyak tempat yang saya lalui, saya melihat penduduk yang sibuk dilahan pertanian dan ditempat pengumpulan bawang. Aku sempatkan berbincang-bincang dengan penduduk dan mengambil beberapa foto pemandangan dan aktifitas penduduk disalah satu tempat yang saya singgahi. Pikiran dan hati saya mengatakan, tempat ini terasa sangat nyaman dan menyenangkan. Sesudah puas berkeliling desa sampai tubuh saya di banjiri keringat karena cuaca memang lagi bagus-bagusnya, saya kembali kerumah sahabat saya. Siang nanti kami akan berangkat ke Kota Surabaya, sahabat saya melanjutkan kuliah S2 nya di Universitas Erlangga, setelah menyelesaikan pendidikan S1-nya di Institut Pertanian Bogor, tempat kami pertama kali bertemu dulu ditahun 2006 pada saat kegiatan pertemuan Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia yang dilaksanakan oleh BEM IPB.
    Sesampai di rumah saya langsung disambut senyum dan pertanyaan “keliling kemana saja tadi ?“ tanya orang tuanya, setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka saya diajak makan siang dulu sebelum berangkat ke Surabaya.



    Sekitar pukul 13.20 kami bertiga, saya, sahabat saya dan sahabatnya sahabat saya naik bus dari Nganjuk menuju Surabaya, sepanjang perjalanan saya menyaksikan gambaran industrialisasi yang semakin berkembang di daerah Provinsi Jawa Timur dan dibeberapa lokasi saya juga menyaksikan pemandangan yang menakjubkan dari balik kaca jendela bus patas ac yang kami naiki. Perjalanan dengan menggunakan bus patas ac dari Nganjuk menuju Kota Surabaya ditempuh dalam waktu kurang lebih 4 jam, dengan harga tiket bus sebesar 12.000 ribu rupiah, perjalanan yang tidak terlalu lama dan harga tiket yang relatif murah menurut saya yang sudah terbiasa jalan ala back packer.
    Sekitar jam 17.30 WIT bus kami memasuki Terminal Kota Surabaya, setelah mengemasi barang-barang bawaan, kami turun dan singgah dulu diwarung makan untuk mengisi perut yang sudah mulai berbunyi keroncongan. Selesai makan sahabat-sahabat saya  memandu saya mencari bus menuju Probolinggo, kota tempat saya nanti akan melanjutkan perjalanan menuju Gunung Bromo.
    Setelah mendapatkan bus patas ac menuju Probolinggo akhirnya kami dengan berat hati berpisah diterminal Surabaya, sahabat-sahabat saya kembali ke aktifitas mereka kembali dan saya melanjutkan perjalanan kembali. Dengan menggunakan bus patas ac yang saya naiki, dari terminal Kota Surabaya menuju Probolinggo akan ditempuh dalam waktu sekitar 4 jam dengan biaya tiket bus 18.000 ribu rupiah.
    Saat dibus saya berbincang-bincang dengan salah satu penumpang yang duduk disebelah tempat duduk saya. Dari sahabat tersebut saya dapat informasi biasanya orang yang mau ke Gunung Bromo masuk melalui simpang di daerah Tongas, nama daerah sebelum sampai diterminal Probolinggo. Atas informasi tersebut akhirnya saya turun di daerah Tongas. Sesampai di daerah Tongas saya bertanya kebeberapa penduduk lokal mengenai jalan masuk ke daerah Gunung Bromo, dan ternyata daerah Tongas ini jalan masuk menuju Gunung Bromo yang biasa dipakai oleh orang-orang yang mempunyai kendaraan pribadi, karena dari peta perjalanan menuju Gunung Bromo yang saya miliki memang simpang Tongas menuju daerah Gunung Bromo. Karena perjalanan saya menggunakan kendaraan umum, berdasarkan informasi dari penduduk, akhirnya saya naik ojek menuju terminal Probolinggo, karena cuma disitu ada kendaraan umum yang berangkat menuju Cemoro Lawang, pintu masuk menuju komplek Gunung Bromo. Dari Tongas saya naik ojek selama kurang lebih 1 jam menuju terminal Probolinggo, dengan ongkos ojek sebesar 25.000 ribu rupiah, pengalaman yang berharga untuk perjalan-perjalanan saya dikemudian hari agar lebih valid mengumpulkan informasi perjalanan.
Sekitar jam 21.30 WIT malam hari saya sampai di komplek terminal Probolinggo, dan langsung kesebelah kiri pintu masuk terminal, tempat mangkalnya kendaraan umum ke Cemoro Lawang. Kendaraan umum ke Cemoro Lawang rata-rata adalah oplet Mitsubishi L-300. Karena saya sampai disana sudah malam hari, kendaraan umum trek Probolinggo-Cemoro Lawang sudah tidak ada lagi, kendaraan umum dari Probolinggo-Cemoro Lawang dan sebaliknya beroperasi sampai sekitar jam 18.00 sore. Akhirnya setelah berdiskusi dengan pemilik kendaraan umum yang ada disana, saya dan beberapa turis mancanegara yang mau ke Cemoro Lawang malam itu menyewa  kendaraan umum tersebut dengan masing-masing dari kami membayar sebesar 50.000 ribu rupiah sebagai biaya untuk mengantarkan kami ke Cemoro Lawang.
    Pada siang hari tarif kendaraan umum dari terminal Probolinggo menuju Cemoro Lawang hanya sebesar 20.000 ribu rupiah. Pengalaman berharga kembali saya dapatkan, saya mencatat dan mengingat dengan baik semua pengalaman-pengalaman ini.
    Kendaraan umum yang mengantar kami ini berisikan 6 orang penumpang beserta saya sendiri, 5 orang wisatawan mancanegara dan saya sendirian wisatawan lokal. Sekitar jam 21.50 WIT kami berangkat menuju Cemoro Lawang, perjalanan kurang lebih satu jam dengan jalan yang terus menanjak, pada saat itu malam lagi bulan purnama, sesudah memasuki daerah Sukapura pemandangan benar-benar menakjubkan. Tebing-tebing gunung yang mengelilingi daerah dataran tinggi Bromo terlihat jelas diterangi sinar bulan purnama, pemandangan yang sangat eksotis.
    Dalam perjalanan menuju Cemoro Lawang, saya berbicara dengan 3 orang turis mancanegara yang ternyata berasal dari Spanyol. Setelah mengobrol cukup panjang dan lama akhirnya kami saling mengenalkan diri, Jeronimo (Jero), Ignatio (Inaki), Jose Segovia Rubio (Pepe) akhirnya menjadi teman seperjalanan saya. Sekitar jam 23.00 WIT kami sampai di Cemoro Lawang. Sesudah negosiasi yang cukup panjang dengan beberapa pemilik penginapan, akhirnya kami berempat mendapatkan penginapan yang kami inginkan, penginapan yang murah meriah tapi layak untuk merebahkan diri, karena kami hanya akan tidur sebentar, beberapa jam kemudian kami akan jalan kaki menuju penanjakan untuk melihat matahari terbit dengan Komplek Gunung Bromo sebagai pemandangan utamanya. Penginapan yang kami tinggali ini adalah rumah penduduk lokal, yang dialih fungsikan menjadi penginapan buat wisatawan yang datang ke Cemoro Lawang, masing-masing kami membayar sebesar 40.000 ribu rupiah untuk biaya menginap selama satu malam.
    Sekitar jam 02.00 dini hari WIT, setelah mengistirahatkan badan selama kurang lebih 3 jam, kami memulai jalan kaki menuju penanjakan. Sebenarnya ada pilihan transportasi menuju penanjakan, bisa dengan merental Jeep yang memang banyak beroperasi di daerah Cemoro Lawang dan sekitarnya dengan paket perjalanan Cemoro Lawang-Penanjakan-Cemoro Lawang-Lautan Pasir Gunung Bromo-Cemoro Lawang dengan tarif kurang lebih 100.000 rupiah per-orang. Tapi tim kami sudah sepakat untuk jalan kaki menuju Penanjakan. Kondisi jalan dari Cemoro Lawang menuju Penanjakan penuh dengan pasir dan debu vulkanik. Berasal dari komplek lembah Gunung Bromo yang di bawa oleh angin dengan kondisi jalan yang landai dan kemudian menanjak, terkadang tanjakannya sangat curam. Untuk yang berencana jalan kaki dari Cemoro Lawang menuju Penanjakan usahakan membawa peralatan seminim mungkin sehingga tidak membebani dalam perjalanan. Perjalanan menuju Penanjakan kami tempuh sejauh kurang lebih 7 km dengan waktu tempuh kurang lebih 2 jam 30 menit. 200-300 meter sebelum sampai puncak Penanjakan, setiap mobil Jeep yang mengantar turis-turis berhenti dan perjalanan dilanjutkan dengan menggunakan Kuda, karena curam dan sempitnya jalan tidak bisa dilalui oleh mobil Jeep. Kuda yang dinaiki, disewa diluar biaya sewa Jeep, harga sewa kuda per-orang berkisar 50.000 ribu rupiah. Sekitar 100 meter menjelang puncak Penanjakan semua orang yang akan naik harus berjalan kaki, karena jalannya sudah bertangga, kecil dan sangat curam, berhati-hatilah. Jam 5.20 dini hari WIT tim kami sampai di puncak Penanjakan. Ada sebuah bangunan permanen berbentuk ruang lepas dititik itu, yang di pergunakan sebagai tempat istirahat orang-orang di puncaknya Penanjakan. Anda bisa memesan minuman panas dan makanan kecil pada para pedagang yang banyak berjualan dilokasi tersebut untuk sekedar menghangatkan diri dan mengisi perut sesudah melalui jalan Penanjakan yang lumayan menguras tenaga, sambil menunggu matahari terbit. Sesudah minum kopi hitam panas tim kami memutuskan untuk naik lebih tinggi, karena ingin mendapatkan pemandangan yang lebih bagus dan menghindarkan keramaian orang-orang dibangunan tersebut, sekitar 50-100 meter lagi ke atas, ada jalan setapak yang sangat kecil menuju lokasi yang lebih tinggi, jalannya sangat curam, kalau mendaki kurang hati-hati maka dapat dipastikan akan terjun bebas ke lembah. Pagi ini walaupun bukan dihari libur, puncak Penanjakan sangat ramai dikunjungi wisatawan, baik lokal maupun mancanegara.
    Pemandangan memang lebih terbuka luas dan lebih menyenangkan dari titik kami ini. Untuk mengambil foto rasanya sangat bebas. Kami menikmati saat-saat datangnya matahari pagi menyinari kami semua dan komplek Gunung Bromo sambil mengobrol dan mengambil foto. Sayangnya pagi ini kabut tidak ada, sehingga pemandangan komplek Gunung Bromo kurang dramatis menurut saya. Sebenarnya pagi ini saya sangat berharap kabut akan datang, dan mungkin saya bisa menghasilkan foto Gunung Bromo yang lebih bagus dan lebih dramatis.



    Sesudah puas mengambil foto dan memandang keindahan komplek Gunung Bromo tim kami bergerak menuruni Penanjakan menuju Cemoro Lawang kembali. Sepanjang perjalanan saya baru menyadari ternyata cuma tim kami saja yang berjalan kaki dari Cemoro Lawang menuju Penanjakan dan sebaliknya. Sepanjang perjalanan saya menyaksikan aktifitas masyarakat Suku Tengger yang mendiami derah dataran tinggi Gunung Bromo dilahan-lahan pertanian yang mereka miliki, ada yang bekerja secara individu dan ada pula yang bekerja secara kolektif. Tanah disini yang sarat unsur hara dari abu vulkanik Gunung Bromo dengan tipe tanah yang bergelombang, naik dan turun serta bertebing layaknya daerah dataran tinggi sangat cocok ditanami dengan sayur-sayuran, terutama Kol, Daun Seledri dan Bawang Merah. Sepanjang perjalanan hamparan tanaman sayuran tersebut terlihat jelas tumbuh dengan subur, kehijauan yang menyejukkan. Masyarakat lokal yang kami lalui menyapa kami dengan ramah, begitu pula sebaliknya kami. Setiap ada momen aktifitas manusia dan pemandangan yang bagus, saya tidak bisa menahan hati dan kamera saya untuk mengabadikannya dalam bentuk foto. Tidak salah tim kami memilih perjalanan pagi ini denganjalan kaki.


    Jam 08.20 WIT kami telah tiba di Cemoro Lawang kembali, sebelum melanjutkan perjalanan menuju padang pasir Bromo, kami menyempatkan diri untuk sarapan pagi terlebih dahulu, mengisi energi yang sudah mulai terkuras. 



    Sebelum memasuki daerah padang pasir Gunung Bromo terlebih dahulu kita harus membayar biaya tiket masuk resmi di pos pintu gerbang. Untuk wisatawan lokal dikenai biaya masuk sebesar 6.000 ribu rupiah per-orang dan untuk wisatawan mancanegara sebesar 25.000 ribu rupiah per-orang. Karena kondisi jarak yang cukup jauh dari pintu masuk menuju padang pasir, dengan kondisi jalan yang berpasir dan berdebu serta waktu yang sudah semakin siang akhirnya kami memutuskan untuk menyewa mobil Jeep. Setelah negosiasi harga yang cukup alot dengan supir mobil Jeep yang disewakan, akhirnya masing-masing kami sepakat dan  masing-masing kami dikenai biaya 40.000/orang untuk biaya pulang pergi Cemoro Lawang-Padang Pasir Gunung Bromo-Cemoro Lawang. Ada keuntungan tersendiri sebenarnya apabila menyewa mobil Jeep, kita bisa menghemat tenaga karena tidak harus menempuh perjalanan yang cukup jauh, bisa menghindari sengatan sinar matahari yang pada saat-saat cuaca bagus seperti saat ini sinar matahari terasa sangat menyengat kulit, meminimalisir tubuh bermandikan pasir dan menghemat waktu perjalanan. Pada umumnya kunjungan wisatawan ke komplek Gunung Bromo tidaklah lama, selesai mendatangi Penanjakan, Padang Pasir dan naik ke puncak Gunung Bromo, para wisatawan kembali ke Cemoro Lawang dan meninggalkan daerah dataran tinggi Bromo.
    Perjalanan menuju padang pasir kami tempuh dengan waktu singkat. Setelah sampai di tempat pemberhentian jeep, perjalanan menuju kuil dan Gunung Bromo harus kami lanjutkan dengan berjalan kaki. Ada pilihan melanjutkan perjalanan dengan menyewa kuda, satu kuda untuk satu orang, kecuali anak kecil boleh berdua dalam satu kuda. Harga sewa per-ekor kuda berkisar 40 ribu rupiah dengan rute parkiran jeep-kuil-kaki Gunung Bromo dan kemudian kembali ke parkiran jeep lagi. Sampai dikaki Gunung Bromo, setiap wisatawan yang mau mendaki kepuncak Gunung Bromo harus melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki melewati lereng gunung yang berpasir dan kemudian mendaki undakan menuju puncak.
    Tim kami memilih untuk berjalan kaki, walaupun saat itu banyak tawaran dari pemilik kuda untuk menyewa kudanya. Tidak terlalu jauh berjalan kaki dari parkiran jeep menuju kuil dan kaki gunung. Yang harus diwaspadai adalah kedatangan angin kencang secara tiba-tiba yang memang sering terjadi. Angin ini menerbangkan pasir dan debu yang ada disekeliling lokasi, sehingga badan kita bermandikan debu dan pasir abu-abu sedikit hitam. Jadi untuk melindungi mata dianjurkan agar memakai kacamata yang tidak dapat ditembus debu dan pasir, juga sebaiknya menggunakan masker mulut dan hidung atau selendang yang dapat menutupi mulut dan hidung kita, sehingga pasir tidak dapat masuk kedalam mulut dan hidung. Pada saat angin dating menerbangkan pasir dan debu sehingga mirip tornado kecil menjadikan pemandangan sekeliling kita menjadi dramatis.
    Untuk yang menggunakan kamera jenis apa saja di daerah ini dan ingin memotret, berhati-hatilah membawa dan menggunakan kamera anda, karena kemungkinan kamera kemasukan debu dan pasir sangat tinggi, alangkah baiknya digunakan pelindung kamera, sehingga aktifitas memotret anda dapat terus anda lakukan, atau pada saat angina bertiup hentikan aktifitas memotret dan lindungi kamera anda dengan menggunakan baju, jaket atau sejenisnya, untuk penanganan kamera seperti itu masih tetap ada kemungkinan kamera kemasukan debu atau pasir. Dan saya anjurkan untuk tidak mengganti-ganti lensa kamera anda pada daerah ini, terlalu beresiko untuk keselamatan kamera anda.
    Kuil di kaki Gunung Batok dan Gunung Bromo ini adalah kuil agama Hindu. Masyarakat yang mendiami dataran tinggi Bromo adalah masyarakat Suku Tengger yang menganut agama Hindu. Kuil ini dipergunakan pada hari-hari besar keagamaan Hindu, terutama pada Hari Raya Kesodo. Pada saat Hari Raya Kesodo ummat Hindu akan memadati kuil dan lautan pasir Gunung Bromo untuk melakukan ritual sembahyang, kemudian mendaki Gunung Bromo dan membuang Kerbau hidup dan makanan berbagai rupa kedalam kawah Gunung Bromo, yang diartikan sebagai sesajen kepada para Dewa-dewa dalam Agama Hindu sebagai bentuk rasa syukur dan harapan untuk diberikan keberkatan.
    Kuil ini dipenuhi oleh debu dan pasir yang dibawa angin dari komplek Padang Pasir Gunung Bromo. Kuil ini memiliki ukuran yang cukup luas, dengan posisi membelakangi Gunung Batok, menyamping Gunung Bromo dan menghadap kearah Cemoro Lawang.
   Setelah melihat keadaan kuil, kami melanjutkan perjalanan menuju kaki Gunung Bromo. Perjalanan yang tidak terlalu jauh, tapi cukup melelahkan karena sinar terik Matahari dengan kondisi jalan yang sedikit mendaki. Meskipun waktu masih menunjukkan pukul 9.35 WIT, suasana tidak begitu ramai, hanya ada beberapa orang, kami memang datang sedikit terlambat, wisatawan lain sudah banyak yang balik ke Cemoro Lawang. Kondisi yang tidak begitu ramai ini membawa suasana yang sedikit berbeda, kami lebih menikmati keadaan disini, sunyi, sepi hanya ditemani desau angin, debu dan pasir yang beterbangan, seperti berbisik ke telinga kami, suasana yang sangat menggugah.
    Kami sudah mulai mendekati kaki Gunung Bromo, tanjakan semakin meninggi, deru nafas semakin mengencang, keringat bercucuran, tubuh sudah bermandikan debu dan pasir, dengan menutup hidung dan memegang erat kamera yang saya lindungi dalam jaket yang terus saya pakai, saya melanjutkan berjalan pelan-pelan mengikuti kawan-kawan lain yang sudah mendahuluiku didepan. Akhirnya sampai juga ditangga naik ke puncak Gunung Bromo. Saya tidak menghitung berapa banyak undakan tangga ini, sepertinya sekitaran 100 anak tangga dengan waktu tempuh sekitar 30 menit. Kondisi undakan ini sudah mulai rapuh dan keropos termakan sengatan matahari, debu, pasir dan waktu, sudah selayaknya untuk diperbaiki demi keselamatan dan kenyamanan orang-orang yang melaluinya.
    Sesampai dipuncak suasana berdebu, angin bertiup lebih sering dan lebih kencang karena sudah diketinggian. Kami duduk dipinggir kawah dengan menjuntaikan kaki ke dinding kawah. Kami menunggu lama untuk dapat sedikit melihat mulut kawah. Kawah Gunung Bromo ini tidak terlalu lebar, mungkin tergolong kecil dan jarak dari puncak ke mulut kawah juga tidak terlalu jauh. Sambil melihat kedalam mulut kawah yang tidak begitu jelas, telinga kami menangkap suara menggelagak lava yang ada dalam kawah. Sesudah duduk bersantai sekitar 20 menit akhirnya kami sepakat untuk turun, karena matahari semakin tinggi dan sinarnya semakin menyengat ditambah pasir dan debu yang beterbangan semakin sering menyelebungi tubuh kami, membuat susah untuk melihat dan bernafas.
    Perjalanan balik dari puncak Gunung Bromo menuju parkiran jeep yang kami sewa tidak begitu lama dan tidak begitu melelahkan, sebagaimana waktu pergi tadi, karna jalan yang menurun dan mandatar. Tidak begitu lama berjalan, sekitar 40 menit, kami sudah kembali ke parkiran jeep. Setelah mengobrol sebentar dengan supir jeep, kami kemudian naik dan melanjutkan perjalanan balik ke Cemoro Lawang. Dalam perjalanan pulang kami saling menertawakan karena tubuh dan wajah kami yang dipenuhi debu dan pasir terlihat begitu lucu. 



    Sesampai di Cemoro Lawang, kami kembali ke penginapan. Setelah membersihkan diri dan membereskan peralatan kami masing-masing, kami keluar dari penginapan dan sekitar pukul 10.30 WIT kami naik angkutan umum yang berangkat menuju terminal Probolinggo. Dalam perjalanan menuju terminal, kami melihat aktifitas penduduk yang sedang merayakan Hari Raya Karo. Semacam hari Raya Idul Fitri dalam agama Islam. Halaman depan rumah penduduk dihiasi dengan batang bambo yang dihias menggunakan helai daun kelapa muda. Penduduk saling mendatangi rumah tetangga dan saudaranya untuk bersilaturrahmi. Pemandangan yang terhampar sepanjang perjalanan balik sangat menakjubkan, dataran tinggi Gunung Bromo memang indah, salah satu situs pariwisata di Indonesia yang wajib untuk dikunjungi, terutama oleh anak bangsa ini sendiri. Kalau mau melihat dan menajamkan sensitifitas sosial dalam jiwa kita, maka kita dapat belajar banyak dari keadaan penduduk disini.
    Sekitar 1 jam perjalanan dengan kondisi jalan menurun yang terkadang curam, dengan diselingi menaikkan dan menurunkan penumpang yang penduduk lokal, akhirnya kami sampai didepan terminal Probolinggo. Ongkos kendaraan disiang hari juga cukup murah untuk wisatawan, 20.000 ribu rupiah.
Kami memasuki terminal Probolinggo, kawan-kawan saya ingin melanjutkan perjalanan ke Situbondo, mereka mau mengunjugi Kawah Ijen. Sepanjang perjalanan pulang mereka terus mengajak saya untuk ikut mereka ke Kawah Ijen, tapi saya tidak bisa pergi dengan mereka walaupun sebenarnya saya sangat ingin pergi mengunjungi Kawah Ijen. Besok malam saya akan balik dari Yogyakarta ke Jakarta, jadi saya tidak mungkin ikut dengan kawan-kawan seperjalan yang sangat menyenangkan ini.
    Saya mengantarkan kawan-kawan ini mencari bus menuju Bondowoso. Sambil menunggu bus datang, kami makan siang dan duduk santai sambil bercerita disalah satu warung yang ada dalam terminal. Kami saling bertukar nomer handphone, alamat email dan facebook, dengan janji untuk terus melanjutkan persahabatan ini, dan mungkin suatu saat akan datang lagi kesempatan untuk bertemu kembali, melakukan perjalanan bersama lagi. Setelah menunggu sekitar 2 jam, akhirnya bus ke Bondowoso datang, kami saling bersalaman dan berpelukan sebagai tanda kebahagiaan kami atas pertemuan dan perjalanan ini, saya dampingi kawan-kawan menuju bus dan mengurus biaya tiket bus mereka. Akhirnya bus berangkat, kami saling melambaikan tangan dan untuk terakhir kalinya saling menatap dan melemparkan senyum sambil melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.
    Setelah kepergian mereka, saya mencari bus yang berangkat menuju Surabaya, tidak terlalu lama menunggu, sekitar pukul 15.10 WIT bus berangkat menuju Surabaya. Perjalanan menuju Surabaya ditempuh selama kurang lebih 4 jam. Selama dalam perjalanan tubuh saya yang lelah tidak mampu membuat mata saya mengantuk dan tidur. Mata saya terus saja memandang keluar jendela menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Sekita pukul 18.00 WIT bus kami memasuki terminal Surabaya, sebelumnya saya sudah menghubungi sabahat saya di Surabaya, dia akan menjemput saya ke terminal. Tidak lama menunggu, sahabat saya datang. Kami bersalaman dan berpelukan, akhirnya bertemu lagi. Saya diajak  makan malam dan dibawa bawa jalan-jalan keliling Kota Surabaya, mengunjungi dan menyeberangi jembatan Suramadu yang cukup terkenal di Indonesia. Jembatan ini terlihat megah, apalagi di malam hari, lampu-lampu jembatan bersinar indah. Dengan membayar ongkos penyeberangan sebesar 3.000 ribu rupiah kami dapat menyeberangi jembatan Suramadu dan kemudian balik lagi ke Surabaya.
    Sekitar jam 00.40 dini hari WIT saya diantar menuju terminal Surabaya, malam ini saya langsung balik ke Yogyakarta. Sambil menunggu bus menuju Yogyakarta berangkat, kami minum kopi dan duduk santai berbincang-bincang diwarung depan terminal. Sekitar jam 01.30 WIT, bus ke Yogyakarta yang mau saya tumpangi datang, saya mengucapkan terima kasih untuk semua bantuan sahabat saya ini, kami bersalaman dan kemudian saya menaiki bus. Perjalanan menuju Yogyakarta akan ditempuh selama kurang lebih 8-9 jam. Sesudah membayar ongkos bus sebesar 29.000 ribu rupiah, saya memejamkan mata dan tidur. Pagi sekitar jam 07.00 WITA, bus yang saya tumpangi memasuki terminal Imogori Yogyakarta. Perjalanan telah selesai untuk sementara waktu, suatu saat saya akan berjalan lagi dan menuturkan kisah perjalanan saya buat kawan-kawan dan sahabat-sahabat semua.
    Sampai bertemu pada kisah perjalanan saya berikutnya, terima kasih telah meluangkan waktu membaca tulisan saya ini, semoga berguna buat kawan-kawan dan sahabat-sahabat yang akan melakukan perjalanan ke Gunung Bromo. Mari kita jalan, menjelajahi Negeri Indonesia kita yang indah dan tercinta ini.
    Tulisan ini saya dedikasikan untuk setiap langkah dalam perjalanan saya dan untuk sahabat-sahabat seperjalanan; Jeronimo (Jero), Ignatio (Inaki), Jose Segovia Rubio (Pepe)...thanks alot for your friendship brothers....nice to meet you all....see u all againt.

 Penulis : Mabruri Tanjung

Potrait Masyarakat Suku Tengger :

3 komentar:

  1. Informatif.... :D

    Kapan ya bisa ke sini.... :)

    BalasHapus
  2. kisah perjalanan yg cukup menarik untuk di baca...

    BalasHapus
  3. Semoga bulan agustus nanti kesini, bisa dapat foto - foto sebagus ini.

    BalasHapus